Off Canvas

 

Halaman Artikel

Artikel umum Dinas Lingkungan Hidup Kota Tanungpinang

Kiraan 20 tahun yang lalu, saya dan beberapa kawan cukup sering pergi ke dermaga-dermaga rakyat (kadang ada yang bilang pelabuhan tikus) di sungai laut yang ada di Tanjungpinang dan Bintan. Kami memancing dari dermaga tersebut, sesekali menggunakan sampan nelayan setempat yang air sungainya pada umumnya asin atau payau dengan kelebatan hutan bakau terpampang di kanan kiri sungai. Penghuni sungai bakau ini  biasanya ikan sembilang, ikan pari tikus, pinang pinang, ikan ungar, udang, ketam bakau, belanak dan beberap jenis ikan dengan sistem migrasinya seperti kakap putih. Waktu itu kami begitu gampang mendapatkan ikan-ikan tersebut.

Suatu sore saya dan kawan seperti biasa pergi memancing semalaman ke dermaga rakyat yang ada di tanjungpinang.Sambil memancing kami kadang berbual-bual dengan kawan-kawan nelayan tradisional. Mata pencaharian mereka sangat tergantung pada ekosistem yang sehat sungai sungai tersebut. Berbekal alat tangkap yang diwariskan turun temurun, mereka bilang alat tangkap tradisional seperti bubuh ketam, jaring dan sondong. Sehatnya sungai dengan jejeran bakau yang ditopang semak pohon belukar didaratanya memberikan hasil tangkapan nelayan yang mampu menunjang kehidupan sehari.hari. Kami sering bertanya “gemana hasilnya pa ngah/pa cik/bang” jawab mereka alhamdulillah lumayan, kadang mereka berseloroh “ta ade” denga raut wajah semringah.

Dalam bualan tersebut kami sering mengatakan selama kita masih menjaga dan peduli terhadap kelangsungan hidup ekosisten sungai-sungai ini, maka yakinlah alam akan memberikan bagiannya kepada kita. Seiring berganti hari sampailah pada kenyataan yang harus diterima kawan-kawan nelayan, tatkala penambangan bouksit merambah Tanjungpinang bintan. Mulailah air sungai berubah warna, suhu air air naik,  pelan dan pasti sistem ekosistem sungai tercemar. Ikan-ikan, udang, ketam mulai sulit didapat. Dan mulailah kawan nelayan kita mengeluh sulitnya menangkap ikan, kami bertanya seperti sebelum-sebelumnya denga jawaban seloroh pa ci/pa ngah/abang “ta ade” dengah raut wajah tidak lagi semringah.

Konon ceritanya para pelaku penambangan bouksit memberi dispensasi berupa “uang debu” bagi masyarakat yang terkena dampak penambangan berupa uang dan beras. Namun sayangnya tak dapat dihindari batu-batu bouksit yang ditimbun dipelabuhan pengangkutan dan sewaktu diangkut dengan tongkang yang menggunakan alur sungai berjatuhan ke sungai dan pencemaran ekosistem sungaipun terjadi. Wal hasil ikan-ikan akan mati atau bermigrasi ke tempat lain karena tempat berkembang biakannya sudah rusak.

Dan, tidak sampai 1 tahun kemudian kami kaget dengan kondisi sungai yang tidak lagi rame ikan bermain, tidak lagi kami mendapat sembilang, pari atau ungar. Kami mendapatkan sungai yang sama dengan air yang keruh,  sedikit bakau, sisa-sisa tumpukan bouksit di tepian, sedikit pohon belukar, terhanyut plastik-plastik dan wajah pasrah kawan-kawan kita sang nelayan. Sampai hari ini kenyataannya adalah untuk lauk saja sulit apatah lagi untuk pencaharian sehari hari . Begitu mudahkah masyarakat kita menerima uang debu tapi akhirnya semua menjadi abu. Entah lah.

Alamat Kantor

Jalan Daeng Celak, Senggarang
Tanjungpinang
Kepulauan Riau
29100
Indonesia

Copyright

Copyright © 2024 DLH Kota Tanjungpinang. All Rights Reserved.